Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW: Barakah “Rewelnya” Ukasyah bin Mihshan

Kisah sahabat ini tidak sepopuler nama-nama sahabat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tapi, setidaknya, sejauh yang saya tahu, teman “biasa” ini sebenarnya sangat mengejutkan dan menginspirasi dengan dua hal yang berkaitan dengan dirinya. Satu kejadian bahkan membuat sahabat terkemuka Anas bin Malik ra sangat senang.

PertamaUkasyah bin Mihshan adalah seorang “aktor putus asa” yang muncul menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW, ketika menyampaikan khutbah terakhir kali di masjidnya di hadapan para sahabatnya dalam suasana sedih.

Dalam kondisi yang sangat sakit, Kanjeng Nabi SAW naik ke mimbar, lalu berkhotbah. Di akhir khotbah, dia meminta para sahabatnya, siapa pun mereka, untuk menebusnya jika dia melakukan kesalahan.

Semua orang membungkuk dalam isak tangis – bayang-bayang perpisahan nyata di depan mata.

Tak disangka, sosok Ukasyah bin Mihshan tiba-tiba mengangkat tangannya dan mengeluarkan suara yang memecah kesunyian bahwa dirinya terkena cambuk unta. Nabi SAW dalam tur Ukasyah bin Mihshan dengan lantang meminta tebusan untuknya SAW berupa cambuk. Tentu saja teman-temannya sangat marah melihatnya.

Dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq yang rela dicambuk menggantikan Nabi SAW, kemudian Sayyidina Umar bin Khattab, hingga Sayyidina Fatimah yang disuruh Bilal bin Rabah yang diperintahkan oleh Nabi SAW untuk mengambil cambuk di tempat untuk dibawa pulang.

Namun Ukasyah bin Mihshan tidak bergeming. Dia hanya inginmusim dingindilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri. Dan Rasulullah SAW mengizinkannya.

Dia SAW kemudian melepas bajunya, seperti yang diperintahkan oleh Ukasyah bin Mihshan, dan bersiap untuk dipukuli. Para sahabat semua menangis menyaksikan saat-saat menegangkan itu – tentu saja kemarahannya tak tertandingi oleh Ukasyah bin Mihshan.

Saat-saat tegang secara bersamaan pecah ketika Ukasyah bin Mihshan melemparkan cambuknya lalu bergegas memeluk tubuh polos Kanjeng Nabi SAW. Ia menangis tersedu-sedu, lalu berkata dengan suara serak bahwa ia melakukan semua ini hanya karena ia sangat ingin kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit tubuh mulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Tak disangka, kejadian “tawuran” Ukasyah bin Mihshan justru menjadi penyebabnya (asbabul wurud) Nabi SAW bersabda:….al-mar-u ma’a man ahabba yaumal qiyamah, orang-orang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang mereka cintai pada hari kiamat (akhirat)….

Anas bin Malik ra, betapa bahagianya dia atas kelahiran dawuh. Ia senang karena itu menjadi bukti jaminan bahwa ia kelak akan dipertemukan kembali dengan Yang Mulia Nabi Muhammad SAW di akhirat kelak. Kepedulian Ukasyah bin Mihshan menjadi berkah yang luar biasa… (dalam riwayat lain ia mengatakan bahwa ia berhubungan dengan seorang Arab Badui, bukan Ukasyah bin Mihshan).

Kedua, lagi-lagi Ukasyah bin Mihshan “bertindak”. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, dalam bab Ali ‘Imran 110, di bagian terakhir dari khazanah bukti dan basis yang ditunjukkan oleh Ibnu Katsir, ada kisah seorang sahabat yang mengatasnamakan Ukasyah bin Mihshan. Dikatakan bahwa pada waktu itu Nabi SAW bersama sejumlah sahabat di sebuah bukit, di antaranya adalah Sayyidina Umar bin Khattab. Nabi SAW kemudian berbicara tentang 70.000 umatnya yang akan masuk surga tanpa dihitung. Semua orang mendengarkan dengan hormat.

Tidak disebutkan, selesai orang berkata, tiba-tiba Ukasyah bin Mihshan”angsa“, seperti ini:

“Ya Rasulullah, mohon doanya agar saya masuk golongan itu.”

Nabi SAW memenuhi permintaan itu, berdoa untuk itu dan kemudian berkata: “Kamu termasuk dalam kelompok itu.”

Betapa beruntungnya Ukasyah bin Mihshan. Sikapnya yang blak-blakan, bolosuko, duduk set sehingga menjadikannya bagian dari shalawat Nabi Muhammad, bahkan secara khusus mendoakannya.

Melihat kejadian itu, teman yang lain (yang namanya tidak disebutkan) tiba-tiba melakukan hal yang sama dengan Ukasyah bin Mihshan dan memohon padanya untuk didoakan dan dimasukkan ke dalam kelompok mandiri tadi. Nabi SAW bersabda: “Aku akan mendoakanmu, tetapi bantulah aku dan dirimu sendiri dengan memperbanyak amalanmu…”

Jawaban ini tidak persis sama dengan jawaban Ukasyah bin Mihshan. Saya tidak tahu, waLlahu a’lam bish shawab.

Dengan nada bercanda, saya sering membacakan kisah Ukasyah bin Mihshan kepada teman-teman, bagaimana mungkin seseorang bisa “mewah” dalam hal mencintai dan mencintai seseorang (dalam hal ini Nabi SAW, dan tentu ahli warisnya air mani ulama hari ini) menjadi wasilah, karena, karena Dia melimpahkan rahmat dan berkah-Nya kepada orang itu. Aku menyebutnya bercanda”memesan“-alami, angsa yang saya maksud adalah dalam konteks Ukasyah bin Mihshan tadi.

Baca juga, Hadits Arbain: Bahkan Kelon bisa bernilai sedekah

Kisah tentang kisah seorang sahabat yang bernama Ukasyah bin Mihshan ini juga bisa menjadi inspirasi betapa walaupun kita bukan siapa-siapa, keturunan kita hanyalah orang biasa saja, namun dengan jalan cinta dan cinta kepada Nabi SAW, dan para ulama saat ini, dengan rupa kepolosan yang begitu murni, jalan berkah, rahmat dan syafaat sangat terbuka bagi kita.

Semoga inspirasi ini bisa menambah karakter saya menyesal kami untuk para ulama dalam niat tawassul berkah dan rahmat Allah Ta’ala dan syafaat Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Amin.

About Admin

Check Also

Kata Ahmad Ibn ‘Ajibah: Sabar itu Bukan Hanya Saat Ada Musibah

Dalam kehidupan sehari-hari, kata “sabar” sering diucapkan untuk menghibur seseorang yang sedang dihadapi bencana atau …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *