Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah: Sebuah Anomali Kekuasaan

Dalam klasifikasi sejarah dunia, sering kali mengacu pada periode ketika Nabi Muhammad hidup zaman kuno akhir (kuno akhir). Menurut Peter Brown, generasi ini berlangsung dari 200 M hingga 700 M. Tahap sejarah ini menandai lahirnya tiga agama monoteistik besar dunia, Yudaisme, Kristen dan Islam. Fase ini juga menjadi saksi runtuhnya Kekaisaran Romawi di Eropa (476 M), jatuhnya Kekaisaran Persia di Timur Dekat (655 M) dan lahirnya Kekaisaran Bizantium yang menjadi penerus Kekaisaran Romawi yang jatuh.

Kekaisaran Bizantium dengan ibu kota konstantinopel (sekarang disebut Istanbul) sangat dominan di wilayah Mediterania timur pada saat sekitar kelahiran Nabi. Sebagai kerajaan politik, bersama dengan warisan ambisi kekaisaran Romawi, Bizantium senang menaklukkan wilayah di sekitarnya. Seorang sejarawan Steven Runciman mengatakan bahwa pada saat itu Byzantium memiliki aspek manajerial yang sangat baik dari kekuasaan yang tidak ada duanya. Salah satu alasan ekspansi Byzantium adalah untuk mencegah kekuasaan berada di tangan kekuatan yang tidak kredibel.

Jika Belahan Barat adalah pusat dinasti Bizantium, maka timur adalah wilayah kekaisaran Sasania. Zoroastrianisme, versi agama tradisional Iran, adalah agama resmi pemerintahan Sasania. Kerajaan ini merupakan perpanjangan dari pengaruh, serta penerus, dari Kekaisaran Persia Lama. Dinasti Sasanian adalah dinasti yang paling lama berkuasa di tanah Persia. Aturan Sasanian Shahanshah (raja) berlangsung hingga abad ke-7. Salah satu faktor yang membuat dinasti Sasanid dapat bertahan selama lima abad adalah hanya memiliki satu pesaing utama pada generasi yang sama, yaitu Kekaisaran Bizantium.

Tidak banyak referensi yang membahas tentang kekuatan Sasaniyah. Namun setidaknya, referensi yang membahasnya mengatakan bahwa kerajaan yang berlangsung antara 226-651 M ini menguasai wilayah yang luas di sekitar Iran, Irak, Asia Tengah, hingga ke jazirah Arab bagian timur. Salah satu tokoh besar yang lahir dari dinasti Sasania adalah Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung). Dalam bukunya, Fred M. Donner mengatakan bahwa wilayah kekuasaan Sasanian membentang dari dataran kaya Sungai Tigris dan Efrat di barat, hingga Afghanistan dan perbatasan Asia Tengah di timur.

Di antara dua kerajaan raksasa ini, lahirlah seorang bangsawan dari rahim Aminah binti Wahb pada tanggal 5 Mei 570 M di Mekkah, dia adalah raja Nabi. Mekah, yang merupakan bagian dari Arabia, pada waktu itu seperti burung kolibri di antara dua gajah, Bizantium dan Sasania. Namun, konteks geopolitik jazirah Arab saat itu juga memiliki semangat yang sama dengan dua kerajaan yang menutupnya, yakni semangat saling mendominasi dan menaklukan.

Semangat ini diwujudkan dalam institusi sosial politik yang dibentuk oleh hubungan keluarga dan kelompok garis keturunan (suku) yang mengikat masyarakat dalam solidaritas dan pertahanan bersama. Tidak ada “hukum” seperti yang kita pahami sekarang. Setiap klan memiliki mekanisme keamanan sendiri untuk melindungi anggotanya dari bahaya, misalnya dari serangan klan lain. Tapi prosedur “legal” yang mencolok adalah balas dendam, di mana satu suku akan menyerang suku yang mengganggu anggotanya.

Namun, semangat politik yang terbangun di sekitar tempat tinggal Nabi tidak serta merta mempengaruhi bagaimana Nabi membangun pemerintahan di Madinah. Setelah hijrah dari Mekah, Nabi mendirikan kota Madinah sebagai pusat kekuatan politik, ekonomi, dan Islam dengan tradisi pemerintahan baru yang belum pernah dikenal dalam peradaban manusia saat itu, terutama dalam konteks budaya Arab.

Kelahiran pemerintahan islam Madinah di Jazirah Arab membawa revolusi spiritual dan pemikiran yang memproyeksikan pembangunan tatanan dunia baru, terutama dalam hal pengelolaan negara, yang didasarkan pada kekuatan moral dan ditempatkan pada kekuatan agama dalam pembentukan etika baru. Berkat Nabi, Madinah menjelma menjadi negeri baru yang dihuni penduduk dengan semangat egaliter, semangat perjuangan, dan tentunya dalam tuntutan ajaran Islam.

Madinah yang dibangun di atas prinsip-prinsip akhlak, iman dan ilmu, akan mengungkap otentisitas karakter agama Islam rahmatan lil ‘alamin dan penuh dengan ajaran tasamuh, tawassutdan saya pasang. Tentu sebuah anomali pemerintahan dibandingkan dengan sistem pemerintahan lain yang dibangun pada masa itu di daerah sekitar Jazirah Arab, yang bergerak dengan semangat otoritarianisme, non-demokratis dan tidak egaliter.

Hal mendasar yang menjadi poros pembahasan dalam politik pemerintahan Islam adalah konsep syura, prinsip amar ma’ruf nahi munkar, pembentukan ahl al-hall wa al-‘aqd, maslahah, dan pada dasarnya imamat Konsep syura Hal ini terlihat ketika Al-Qur’an tidak mengungkapkan konsep negara secara konkrit dalam ayat-ayatnya.

Berdasarkan Syafii Maarif, ia menyimpang karena dua alasan: pertama, karena Al-Qur’an pada prinsipnya adalah pedoman etis bagi umat manusia, bukan buku ilmu politik; kedua karena merupakan fakta bahwa lembaga sosial politik dan organisasi manusia selalu berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, pembungkaman al-Qur’an dalam hal ini dimaksudkan untuk mencegah stagnasi hukum negara dalam setiap periode sejarah manusia.

Karena ambiguitas ini, praktik sistem ketatanegaraan selalu berubah dalam sejarah Islam selanjutnya. Pada periode empat Khulafaur Rasyidin, terlihat bahwa hikmah masing-masing sangat beragam, terutama dalam soal suksesi kepemimpinan. Misalnya, Abu Bakar menjadi khalifah pertama melalui pemilihan dalam majelis yang berlangsung pada hari kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad. Umar Bin Khattab mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua, bukan melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan wasiat pendahulunya.

Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga melalui seleksi oleh sekelompok orang yang diangkat oleh Umar sendiri sebelum meninggal, mereka disebut ahl al-hall wa al-‘aqd. Umar memberikan enam nama yaitu Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auff dan Talhah bin Ubaidillah. Pada akhirnya, yang lain menarik pencalonan mereka, meninggalkan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dan Utsman terpilih menjadi khalifah tertua di usia 70 tahun.

Selanjutnya Ali Bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat tanpa melalui proses apapun ahl al-hall wa al-‘aqdatau kehendak khalifah sebelumnya, tetapi dengan syura dan kesepakatan kaum muslimin yang menginginkan suksesi khalifah setelah Usman wafat.

Menurut sejarawan Yusuf al’Isy, sistem permusyawaratan yang identik dengan pemerintahan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin pada masa itu sangat bertentangan dengan segala macam kekuasaan pada masa itu yang menggunakan sistem otoriter dan diktator. Sebuah pemikiran progresif yang waktunya telah berlalu.

Namun, anomali kekuasaan ini berakhir ketika generasi Khulafaur Rashidin bubar. Sistem pemerintahan Islam kembali ke bentuk monarki dengan Bani Umayyah sebagai khalifah dalam struktur dinasti Umayyah.

Khulafaur Rashidin memerintah selama 30 tahun. Hal ini berbeda dengan dinasti Umayyah yang memerintah selama 288 tahun dan dinasti-dinasti berikutnya. Menurut Yusuf al’Isy, salah satu faktor mengapa Khulafaur Rashidun sangat sulit bertahan lama adalah karena orang-orang baru dengan generasi baru dan pemikiran baru, baik Arab atau tidak, tidak dapat beradaptasi dengan kekuatan model Khulafaur Rashidun bukan, sehingga kekuasaan harus diganti dengan gaya yang mereka anggap “modern” beserta pemikiran dan perspektifnya.

Sistem “modern” di mata masyarakat ini merupakan tren yang lebih memilih kekuasaan dipimpin oleh raja-raja yang masih memiliki hubungan kekerabatan seperti pada masa lalu pada masa Jahiliyah. Ini sangat cocok dengan pemikiran mereka dan kebutuhan masyarakat baru. Muawiyah adalah orang yang tepat dan dapat mewakili kepentingan, keinginan, dan kecenderungannya.

Oleh karena itu Nabi Muhammad dan generasi Khulafaur Rashidin dapat dikatakan sebagai pemimpin yang progresif, adil dan bijaksana dengan mengedepankan pemerintahan yang egaliter berdasarkan moral yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Nabi ingin mengubah kebiasaan politik saat itu yang cenderung otoriter, mendominasi HAM dan diktator.

Madinah di era Nabi adalah prototipe model kepemimpinan yang ideal. Tugas kita mengembangkannya dengan model yang relevan dengan kita, namun tetap dalam koridor nilai-nilai yang diterapkan oleh Nabi Muhammad dan diimplementasikan oleh generasi Khulafaur Rasyidin.

Wallahu a’lam bisshowab. .

About Admin

Check Also

Dicky Budiman, Santri Ahli Epidemiologi: Sains Syarat Mutlak Indonesia Menjadi Negara Maju

Dicky Budiman adalah seorang dokter, ahli epidemiologi, pakar keamanan kesehatan global dan peneliti Indonesia dari …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *