Manusia Biasa, Merdeka! – Islami[dot]co

Untuk hal yang satu ini, saya kira kita harus dengan tulus berterima kasih kepada Pak Jokowi. Bagaimana tidak, saya pikir hampir tidak mungkin di masa-masa sebelumnya, para menteri, pejabat tinggi negara, kepada tamu yang sangat formal dari upacara ketujuh belas, menari diiringi lagu berirama Saudara Lala yang baru-baru ini menjadi viral: jangan bandingkan dinyanyikan oleh saudari kita Farel Prayoga.

Saya sungguh tidak bisa membayangkan acara seperti itu terjadi dalam agenda kenegaraan yang sangat sakral seperti Upacara Bendera 17 Agustus jika Pak SBY bertindak sebagai inspektur upacara misalnya. Atau terutama Pak Harto. Tampaknya mustahil. Apakah Anda berani rock dangdut di depan Pak Harto? Ha ha ha.

Terlepas dari perdebatan yang terjadi tentang isi lagu yang dinyanyikan oleh anak di bawah umur, atau mungkin perusakan kesucian upacara 17 Agustus, faktanya kita temukan atmosfer Upacara kemarin sedikit berbeda, bahkan sangat bertolak belakang dengan nuansa formal yang biasanya dibangun oleh negara dan pejabatnya.

Apalagi saat sesi hiburan lagu Dek Farel sangat menggembirakan. Tentang Pak Prabowo dan berbagai menteri yang tidak pandai menari, atau Kapolri yang menonton mengapadiam

Merdeka ya kemerdekaan, ayo bernyanyi dan menari! Mari (berusaha) untuk bahagia!

Jadi saya sangat bersyukur telah menjadi bagian dari lari acara yang dibawakan oleh Dek Farel pada upacara kemarin. Karena dari situ kita sama-sama merasakan betapa indahnya negeri ini jika dilihat seperti apa adanya. Formal boleh, harus sakral, tapi tidak perlu menghilangkan aspek dan unsur manusia, siapapun dia: tentara, polisi, menteri, panglima, bahkan Presiden.

Maksudku, orang adalah orang. Ada ketukan ritmis yang mau digoyang ya goyang saja. Ada lagu yang bagus untuk dinyanyikan, ya, nyanyikan saja. Sesuatu yang lucu, tertawa, ya, tertawa saja. Sedangkan bagi Anda atau siapapun yang mengemban amanah sebagai lembaga tinggi, bukan berarti Anda harus selalu tampil formal dan beku, bukan?

Karena menurut saya, salah satu hal yang paling mengerikan bagi manusia adalah ketika mereka bukan lagi manusia. Ia kehilangan kemanusiaannya, termakan oleh berbagai hal yang disandangnya: jabatan, kekayaan, pangkat, ilmu, pekerjaan dan segala sesuatu yang ada di luar dirinya.

Lagi pula, menjadi manusia tidak berarti Anda akan berantakan. Bersikaplah kasar atau bahkan kasar kepada orang lain. Tidak menaati aturan. Tidak dapat menempatkan diri dan memahami situasi. Tidak, kan? Untuk menjadi manusia, maksud saya menjadi sepenuhnya utuh untuk menjadi diri sendiri yang jujur ​​​​dengan pikiran Anda dan rasa pengalaman.

Di satu sisi, saya sangat memahami bahwa menjadi pejabat seringkali sangat sulit. Ada batasan-batasan yang seringkali menyulitkan untuk menjadi diri sendiri, baik berupa aturan yang bersifat tetap seperti tata cara atau tata cara tertentu, hingga yang bersifat halus seperti keharusan tampil sebagai panutan bagi masyarakat sehingga harus muncul seorang pejabat. dalam idealisme utama.

Tentu saja, menjadi Panglima TNI, Kapolri atau Presiden bukan berarti Anda bukan manusia. Hanya saja, saya melihat, dalam budaya pemerintahan, negara, dengan segala aturan dan ketentuannya, seorang pejabat sepertinya memiliki tantangan berat untuk sekadar menjadi orang biasa.

Apalagi PNS top di lingkaran istana, untuk Kelas Kepala Daerah, bisa saja bersinar sepatu sendiri? Apakah mungkin dia? isah-isah, mencuci piring sendiri setelah makan? Atau, jangan khawatir tentang itu lahapakah mereka mampu membawa ransel sendiri seperti pekerja kantoran yang memakai tas sambil meringkuk di angkutan umum?

Tidak, petugas kami bahkan tidak memiliki energi yang cukup untuk membuka pintu mobil mereka sendiri. Jadi tolong jangan paksa dia untuk melakukan hal-hal yang di luar kemampuannya.

Jangan berani James dan menari di tengah lapangan upacara bendera mungkin membutuhkan usaha ekstra. Menjadi orang biasa mungkin merupakan bisnis yang sangat luar biasa bagi mereka.

Lucunya, dalam segala keterbatasan menjadi diri sendiri dan orang biasa, banyak dari kita yang diam-diam berharap dan bermimpi menjadi pejabat. Tidak hanya anak-anak yang pandangan dan pengetahuannya belum sempurna, orang dewasa yang memasuki dunia itu juga tidak pernah menyelesaikannya.

Mereka ingin diam-diam memasuki lingkaran keraton, ingin diundang ke upacara, ingin terlibat dalam berbagai urusan negara, diangkat sebagai pengurus, panitia atau staf khusus, bahkan dengan berbagai cara dan strategi, mereka berusaha mencapai posisi tertinggi. Kemudian, ketika mencapai level tertinggi, direncanakan untuk di-bau-bau menempati lebih lama.

Baca juga, Ojo Bandingkan: Dangdut di keraton dan goyang kemerdekaan

Mungkin dia-dia lupa betapa enaknya menjadi orang biasa.

Jika ingin bersantai, pergi saja ke kedai kopi di sebelah rumah atau hang out dengan tetangga. Untuk menyekolahkan anak. Menyirami tanaman dan mencabut gulma. Lap sepeda Anda atau cuci mobil Anda sendiri. Menyapu, tertawa bersama anak, atau sesekali dimarahi istri. Dan ribuan kejadian manusia biasa dengan kesenangan luar biasa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang top.

Orang biasa, gratis!

About Admin

Check Also

Reuni Akbar Alumni Pondok Ngruki: Saya Terenyuh Melihat Ustadz Ba’asyir Ikut Upacara Bendera

Pondok Islam Al-Mukmin Ngruki menggelar upacara bendera pada Rabu (17/8/2022) dalam rangka HUT ke-77 Kemerdekaan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *