Soal cinta tanah air memang tidak banyak diperdebatkan oleh para ulama sejak dulu. Karena sebenarnya cinta yang tumbuh dalam diri seseorang terhadap tanah airnya adalah hal yang manusiawi. Setiap orang di negara manapun pasti memiliki kecenderungan untuk mencintai negaranya sendiri, tanpa terkecuali.
Ulama tidak pernah mempersoalkan kecintaan seseorang terhadap negaranya dari waktu ke waktu. Nabi sendiri mencintai Mekah sebagai tanah airnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits. Ketika dalam perjalanan dari Madinah menuju kota Mekah, ia sangat merindukan kota Mekkah, tanah kelahirannya. Jibril datang dan bertanya: “Apakah kamu merindukan negaramu?” Nabi menjawab, “Ya.” Lalu muncullah ayat:
Dia yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu akan membawamu kembali ke tempat tujuan (Al-Qasas: 85)
“Sesungguhnya Allah yang memaksa kamu (menjalankan hukum-hukum Al-Qur’an), sungguh akan mengirim kamu kembali ke tempat kembalimu (Mekah)”
Menurut Syekh Ismail Haqqi in Tafsir Ruhul Bayandalam ayat tersebut ada tanda bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Dalam hadits lain diperlihatkan bahwa Rasulullah sangat mencintai tanah airnya:
Ketika dia datang dari perjalanan dan melihat tembok kota, dia menurunkan unta, meskipun dia berada di gunungnya. Dibacakan oleh Al-Bukhari
“Ketika Nabi kembali dari perjalanan dan melihat tembok kota Madinah, dia mempercepat kecepatan untanya; dan ketika dia menunggangi kuda (seperti kuda), maka dia bergerak karena kecintaannya pada Madinah” (HR.Bukhori)
Mengenai hadis, banyak ulama yang berkomentar, termasuk Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab syrahnya Kitab Shohih Bukhori. Dia berkata:
Dan dalam hadits tersebut terdapat indikasi keutamaan kota dan legitimasi cinta tanah air dan nostalgia untuk itu.
“Dalam hadits tersebut terdapat indikasi yang menunjukkan pentingnya kota Madinah dan dianjurkan untuk mencintai tanah air dan merindukannya.”
Nasionalisme Ibrahim bin Adham
Di antara fragmen ulama yang begitu mencintai tanah air adalah Ibrahim bin Adham. Ibrahim bin Adham sendiri adalah seorang tokoh sufi yang terkenal. Namanya dalam bidang tasawuf dan tasawuf sangat disegani karena memiliki kedudukan dan peran penting dalam dunia tasawuf. Ia pernah berguru kepada Syu’bah bin al-Hajjaj, Malik bin Dinar dan Fudhail bin Iyadh. Dari pendidikannya ia menghasilkan sosok murid sufi yang agung; Syaqiq al Balkhi.
Dalam hidupnya, selain dikenang karena zuhud dan berbagai amalan sufi lainnya, Ibrahim bin Adham juga dikenal sebagai sosok yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap tanah airnya.
Di Hilyat al-Auliya’ Abu Nuaim al-Ashfihani mengutip kata-kata Ibrahim bin Adham:
Saya harus melakukan dengan ibadah, dan saya menemukan tidak ada yang lebih sulit bagi saya daripada perjuangan diri sendiri untuk tanah air
“Saya berjuang untuk beribadah, tetapi saya tidak menemukan apa pun yang lebih berat daripada perjuangan untuk diri saya sendiri untuk tanah air.”
Pada kesempatan lain, Ibrahim bin Adham juga mengatakan dengan nada yang sama:
“Saya tidak menderita apa pun yang lebih sulit bagi saya dalam apa yang tersisa dari saya daripada meninggalkan tanah air saya.”
“Dari semua hal yang pernah saya tinggalkan (hadapi), saya tidak pernah merasakan sesuatu yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air saya.”
Kecintaan Ibrahim bin Adham yang besar terhadap tanah airnya tercermin dalam kutipan di atas. Ibrahim bin Adham percaya bahwa tanah airnya adalah hal yang sangat berharga. Sehingga ketika jauh dari kampung halaman, perasaannya benar-benar gila.
Ibrahim bin Adham sendiri lahir di kota Balkh sebelah timur Khurasan. Saat ini dikenal sebagai negara Afghanistan. Saat dewasa, Ibrahim bin Adham banyak bepergian ke luar negeri untuk menimba ilmu dari para guru di berbagai bidang.
Ia juga tercatat sebagai sosok yang senantiasa berjuang mempertahankan kedaulatan negara. Kita bisa melacaknya dalam catatan Ibn Asakir Tanggal Medina Dimaysq penuh. 6 aula. tiga ratus lima puluh.
Ibnu Asakir mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham berperang melawan tentara Romawi Bizantium. Saat itu Ibrahim bin Adham bergabung dengan kavaleri laut di tengah laut. Bahkan dikatakan beberapa sumber menyebutkan bahwa kematian Ibrahim bin Adham juga terjadi di tengah ekspedisi militer.
Pada suatu malam yang menegangkan di tengah ekspedisi, Ibrahim bin Adham tiba-tiba meminta temannya untuk membawa panahnya. Tak lama setelah menerima panah, kematiannya membawanya. Dan busur itu masih utuh di tangannya. Ia kemudian dimakamkan di salah satu pulau di Roma. Ada yang mengatakan dia dimakamkan di wilayah Bizantium, dekat Benteng Sukin, atau Sufana pada tahun 161 H.
Kisah tersebut juga menegaskan bahwa dalam diri Ibrahim bin Adham terdapat teladan cinta tanah air yang agung dan bentuk pengorbanan yang nyata. Begitu besar cinta dan pengorbanannya, sehingga membuatnya mati untuk membela dan memperjuangkan martabat tanah airnya.
Terakhir, tentang cinta tanah air, Imam Al-Ashmu’i sering mengutip kata-kata seorang Badui yang ditemuinya tentang cinta tanah air. Kata-kata itu begitu membekas di benak Imam al-Ashmui. Saat itu orang Badui berkata:
Jika Anda ingin mengenal seorang pria, lihat betapa dia mencintai negaranya, kerinduannya pada saudara-saudaranya, dan tangisannya atas masa lalunya.
“Jika Anda ingin mengetahui kualitas seseorang, lihat seberapa besar dia mencintai negaranya, cintanya kepada teman-temannya, dan air mata di matanya untuk semua yang telah terjadi padanya.”