Penyanyi Banyuwangi Farel Prayoga menjadi headline dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 hari ini. Dalam penampilannya, Farel membawakan lagu yang viral Jangan membandingkan Karya Abah Lala. Lagu dangdut koplo Jawa ini spontan membuat sejumlah Menteri, pejabat, dan tokoh-tokoh besar nasional bernyanyi dan menari bersama. Halaman Istana Merdeka yang biasanya terlihat sepi dan berwibawa terlihat semarak dan apa adanya. Tak ketinggalan, wajah bahagia juga tampak di wajah Presiden Joko Widodo.
Saya tidak tahu pasti mengapa pihak Istana mengundang Farel untuk membawakan lagu tersebut. Jelas, ini adalah upacara kemerdekaan Indonesia yang terbaik ambar yang telah saya lihat sepanjang hidup saya. Tentu ada alasan khusus mengapa pihak Istana memilih untuk menampilkan musik kendang Koplo dalam rangka memperingati HUT RI yang ke-77. Dalam artikel ini ada kemungkinan menarik yang kita bahas.
Tak bisa dipungkiri, stigma dangdut sebagai musik murahan terus berlanjut hingga saat ini. Dengan hadirnya musik dangdut di keraton, Pak Jokowi seolah ingin menegaskan bahwa dangdut sudah tidak ada lagi. subkultur atau genre alternatif. Namun, dangdut seharusnya menjadi mainstream itu sendiri. Dangdut menawarkan oase kejujuran dan kebenaran di saat musik mainstream terlalu utopis dan tidak terjangkau oleh masyarakat umum.
Kenapa musik dangdut, bukan yang lain? Tidak lain karena musik dangdut terkenal dan identik dengan wajah orang kecil. Saking terkenalnya, dangdut bisa kita temukan di pasar, pos patroli, pesta pernikahan dan lain sebagainya. Musik dangdut hadir sebagai musik yang mengusung diksi nyata kehidupan masyarakat Indonesia. Jika kita cermati, irama dangdut mengajak kita untuk terlibat, bahwa apa yang mereka dengar adalah apa yang mereka alami setiap hari. Musik yang mengakomodir segala permasalahan bangsa Indonesia. Mulai dari urusan tidak punya uang, kesenjangan sosial, hingga masalah cinta terdampar karena kekurangan harta.
Jadi sepertinya Istana ingin menunjukkannya Dangdut sayas tdia mkamisayac dari negara saya. Dangdut bukanlah musik yang hanya tentang orang-orang yang terpinggirkan. Dangdut juga bisa dinikmati oleh semua kalangan, bahkan pejabat pemerintah, dengan mengikutsertakannya dalam rangkaian acara sakral kenegaraan. Bahkan Kapolri Listyo Sigit terlihat ikut bernyanyi, seakan lupa sejenak mendung menyelimuti Mabes Polri.
Saya kira kehadiran dangdut di Keraton bukan tanpa alasan. Presiden Jokowi sendiri adalah orang Jawa, dan seperti halnya orang Jawa, presiden ketujuh Indonesia ini merupakan sosok yang gestur politiknya sangat simbolis.
Kita bisa menelaah unsur simbolis dari lirik lagu ini. paduan suara lagu Jangan membandingkan ada cuplikan liriknya”Rakyatku kenapa kamu membandingkan, bersaing, kamu harus kalah“(Kenapa orang seperti ini dibandingkan, berkompetisi, ya harus kalah). Lirik ini terngiang di telinga kita. Dalam arti, Presiden Jokowi sebenarnya ingin mengajak kita untuk tidak membandingkan satu presiden dengan presiden lainnya. Seolah-olah mengatakan bahwa “Setiap pemimpin memiliki waktu, dan setiap era memiliki pemimpin”. Jadi tidak perlu membandingkan atau bersaing. Apalagi wacana, perbincangan tentang sosok capres juga sudah mulai bermunculan, meski masih dua tahun lagi. Semoga sajak ini cukup meredam dan mengembalikan momentum ketujuh belas sebagai momen persatuan. Tentang Matahari.
Ditambah dengan lirik “Aku harap kamu mengerti, di hati ini hanya ada kamu..“ yang dimodifikasi secara unik oleh Farel Prayoga dengan “Kuharap kau mengerti, di hati ini hanya ada Pak Jokowi..“. Disengaja atau tidak, lirik ini ingin menjelaskan kepada publik bahwa sampai saat ini presiden Republik Indonesia adalah dirinya. Jangan terburu-buru bersaing, apalagi membandingkan pilihannya terlebih dahulu. Hehe..
Tidak dapat disangkal, dengan berita besar saat ini”Jangan membandingkan“Ini seperti mengembalikan citra istana dan Presiden Jokowi menjadi abu Orang kecil yang baru saja menghilang. Sejak putra dan menantunya mulai terjun ke dunia politik dan menjadi pemimpin daerah, gagasan bahwa Pak Jokowi mulai membangun dinasti kekuasaan mulai muncul. Belum lagi cengkeraman oligarki okultisme yang semakin diidentikkan dengan citranya sendiri. Jadi membawakan lagu dangdut dalam upacara kemerdekaan Republik Indonesia seperti mengembalikan citra Istana (dan tentunya Pak Jokowi sendiri) sebagai rumah. Orang kecil.
Nah, di atas segalanya, ada satu kemungkinan yang paling menarik minat saya. Kehadiran lagu Jangan membandingkan Kali ini Istana ingin menunjukkan bahwa negara juga hadir untuk sahabat dan asmara tuna. Padahal negara tidak bisa langsung mematuhi UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) yang berbunyi “SSetiap orang berhak membentuk keluarga dan meneruskan garis keturunan melalui perkawinan yang sah.dalam artian negara sedang mencari pasangan untuk kita, tapi setidaknya negara sepertinya peduli untuk menemani kita dalam memproses fase kedewasaan yang disebut kehilangan dan duka.
Alhasil, apapun alasannya, kita patut berterima kasih kepada Istana Negara dan Presiden Jokowi yang telah menyediakan panggung hiburan dangdut di tengah kesulitan ekonomi sebagai mahasiswa kabupaten, apalagi sebagai pemuda sedih tanpa asmara. Dangdut adalah satu-satunya teman yang selalu menemani patah hati kita. Mari kita pahami bahwa duka juga harus dirayakan dengan mengayunkan kemerdekaan. Musik hari ini mengingatkan kita bahwa ayunan adalah hak semua bangsa. Mandiri! [rf]